Jumat, 09 September 2011

REVITALISASI IPTEK BAGI PENINGKATAN KUALITAS SDM PERGURUAN TINGGI


Fenomena Ganjil
            Sukar disangkal bahwa pelayanan akademik dan administratif di perguruan tinggi negeri dan swasta jauh dari memuaskan. Fenomena ini antara lain terlihat dari keluhan mahasiswa yang tanpa putus sepanjang waktu. Dari urusan akademik yang penting seperti memperoleh pelayanan pengajaran yang layak, tersedianya referensi yang memadai di perpustakaan, sistem penilaian yang obyektif, bimbingan karya ilmiah secara memadai, sampai urusan administrasi yang remeh seperti daftar ulang, masih dikeluhkan mahasiswa. Ini merupakan ironi yang sukar dinalar. Bagaimana mungkin perguruan tinggi sebagai produsen sekaligus gudang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tidak mampu memberikan pelayanan secara paripurna? Alih-alih, persoalannya terletak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai. Di berbagai perguruan tinggi, meskipun bertaburan pakar yang sangat pintar dan kompeten dalam hal pelayanan misalnya, namun enggan melakukan pelatihan pelayanan untuk kalangan internalnya. Mereka lebih suka memberikan ilmunya untuk kalangan luar kampus yang langsung menghasilkan uang daripada melakukan untuk kalangan internalnya sendiri. Dalam jangka menengah dan panjang, kecenderungan seperti ini sama sekali tidak menguntungkan, terutama dalam konteks persaingan.

Pertanyaan Kritis
            Fenomena tersebut mengundang satu pertanyaan kritis: Mengapa manajemen pergururn tinggi enggan memanfaatkan IPTEK untuk meningkatkan kualitas SDM-nya?



Teori
Setiap kegiatan membutuhkan sumber daya manusia (SDM). Demikian pula penyelenggaraan pruguruan tinggi juga membutuhkan SDM. Sumber daya manusia atau human resouses mengandung dua pengertian. Pertama, sumber daya manusia (SDM) mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua dari SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (Sumarsono, 2009: 2).
Selain itu, SDM juga dapat dipahami sebagai seluruh kemampuan atau potensi penduduk yang berada di dalam suatu wilayah tertentu beserta karakteristik atau ciri demografis, sosial maupun ekonominya yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembangunan (http://www.edukasi.net.03.htm). Jadi, ketika membahas SDM, berarti membahas penduduk dengan segala potensi atau kemampuannya. Potensi manusia menyangkut dua aspek, yaitu: kuantitas dan kualitas. Karakteristik demografi merupakan aspek kuantitas SDM yang dapat digunakan untuk menggambarkan jumlah dan pertumbuhan penduduk, penyebaran penduduk dan komposisi penduduk. Sedangkan karakteristik sosial dan ekonomi merupakan aspek kualitas (mutu) SDM.  Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu negara, sangat ditentukan oleh kualitas SDM-nya, baik secara fisik maupun prikis (mental).
Menurut Mangkuprawira (2003: 236), dibandingkan dengan faktor produksi lainnya, sumber daya manusia (SDM) memiliki keunikan yang dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a.    Instuisi dan emosi; artinya sebagai potensi mahluk hidup, manusia tidak dapat diperlukan, seperti faktor produksi lainnya yang bersifat pasif. Manusia dengan potensinya (SDM) memiliki ciri perasaan yang mendalam jika diperlukan tidak wajar. Dia bisa protes, berkeluh-kesah, puas, dan sebagainya.
b.    Kepribadian aktif; artinya tiap manusia cenderung ingin meraih kinerja semaksimal mungkin. Ini pertanda bahwa manusia memiliki kebutuhan fisik dan bukan yang tidak statis dan bahkan tidak terbatas. Akan tetapi, di sisi lain sumber daya yang dimiliki terbatas. Oleh karena itu, diperlukan beberapa pilihan yang harus dicari dan dipenuhi oleh manusia.
c.    Kinerja manusia merupakan fungsi dari tingkat kemampuan, sikap, dan derajat motivasinya. Berdasarkan formula tersebut, maka SDM tidak dapat dianggap seragam potensinya. Ada 4 golongan manusia, yaitu (1) orang yang mampu, tetapi tidak mau, (2) orang yang mau tetapi tidak mampu, (3) orang yang mau sekaligus mampu, dan (4) orang yang tidak mampu dan tidak mampu.
d.    Manusia memiliki tiga tahap pengembangan individu: (1) tahap ketergantungan (dependensi) terhadap orang lain. Pada tahap ini menusia memiliki paradigma “engkau”; (2) tahap kebebasan (independensia) di mana individu mempunyai kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Pada tahap ini manusia memiliki paradigma kebebasan “aku”; (3) pada tahap berikutnya individu berada dalam kondisi saling ketergantungan (interdependensi). Paradigmanya adalah paradigma “kita”.
Lebih dari itu, menurut Gomez (2001: 26-27), unsur-unsur (variables) sumber daya manusia meliputi kemampuan-kemampuan (capabilities), sikap (attitudes), nilai-nilai (values), kebutuhan-kebutuhan (needs), dan karakteristik-karakteristik demografisnya (penduduk). Unsur-unsur sumber daya manusia tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, seperti norma-norma dan nilai-nilai masyarakat, tingkat pendidikan dan peluang-peluang yang tersedia. Unsur-unsur tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi peran dan perilaku manajer dalam organisasi. Orang-orang dalam organisasi dapat dibedakan satu dengan yang lainya berdasarkan variabel-variabel tersebut. Orang-orang yang terlibat dalam organisasi biasanya memiliki karakter dalam hal unsur-unsur yang saling berbeda satu dengan yang lainya, termasuk manajernya. Perbedaan-perbedaan seperti itu sangat penting untuk diketahui oleh manajer, dan sedapat mungkin mengakomodasikannya. Pengakuan atas perbedaan potensi-potensi itu juga menuntut adanya penyesuaian manajer terhadap kharakteristik-kharakteristik tersebut. Sebaliknya, peranan dan perilaku manajer mempengaruhi unsur-unsur sumber daya manusia, dan seterusnya juga akan berpengaruh terhadap lingkungannya.
Untuk menciptakan SDM yang berkualitas dan dapat bekerja dengan baik pada organisasi diperlukan pengetahuan dan keterampilan tertentu yang lazim disebut sebagai kompetensi. Untuk mewujudkan hal itu, maka diperlukan manajemen sumber daya manusia (MSDM) sebagai penunjang pengelolaan SDM. Sebagaimana diketahui bahwa komponen dasar organisasi terdiri atas SDM (people), teknologi (technology), prosedur kerja (task) dan struktur organisasi (organization tructure). Keempat elemen atau komponen dasar tersebut saling terkait satu dengan yang lain secara simultan dan sinergis dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi. Namun, dari keempat komponen dasar tersebut, SDM (people) yang memiliki peran paling penting. Organisasi dapat beroperasi karena dioperasionalkan oleh manusia yang ada di dalamnya. Organisasi berkembang dan maju karena dikembangkan dan dimajukan oleh peran pelaku organisasi yang terlibat di dalamnya. Manusia menjadi pelaku utama setiap derap langkah organisasi dalam menjalankan misi untuk mewujudkan tujuan dan cita-citanya. Peran SDM dalam organisasi begitu penting dan menentukan, sehingga diperlukan manajemen yaitu cara pengelolaan secara sistematis-terencana dan terpola agar tujuan yang diinginkan baik di masa sekarang atau di masa depan dapat dicapai secara optimal.
Terkait dengan hal itu, Simamora (1997: 68) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsur sumber daya manusia. Tugas utama MSDM adalah untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Oleh karena hal tersebut, maka  tugas MSDM dapat dikelompokkan atas dua fungsi, yaitu: (1) fungsi manajerial: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian, dan (2) fungsi operasional: pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.
Menurut Simamora Simamora (1997: 38), kemampuan organisasi dalam mengelola sumber daya manusia dapat terlihat dari terselenggaranya semua fungsi yang harus diselenggarakannya guna mendukung kegiatan semua komponen organisasai yang bersangkutan. Fungsi-fungsi dimaksud ialah: (1) perencanaan sumber daya manusia, (2) rekrutmen dan seleksi, (3) orientasi dan penempatan, (4) pelatihan dan pengembangan, (5) penilaian kinerja, (6) penerapan sistem imbalan yang efektif, (7) perencanaan dan pengembangan karier, dan (8) perlindungan dan pemeliharaan hubungan yang harmonis dengan karyawan.
Di pihak lain Dessler (2003: 112) menyatakan bahwa MSDM adalah suatu pendekatan terhadap manusia dengan mengacu pada empat prinsip dasar, yakni:
1.    Sumber daya manusia merupakan aset yang sangat  penting dari suatu organisasi, manajemen yang efektif merupakan kunci bagi keberhasilan organisasi tersebut.
2.    Keberhasilan dari suatu organisasi hanya dapat dicapai jika peraturan atau kebijakan dan prosedur yang bertalian dengan manusia dari organisasi tersebut saling berhubungan dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
3.    Kultur dan nilai organisasi, suasana organisasi dan perilaku manajerial yang berasal dari kultur tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil pencapaian yang terbaik.
4.    Manajemen SDM berhubungan dengan integrasi yang menjadikan semua anggota organisasi terlibat dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Lebih lanjut Dessler (2001: 138) menyatakan bahwa konsep-konsep dasar yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam bertindak dan merumuskan kebijaksanaan yang menyangkut manusia dalam organisasi dapat dibagi menjadi tujuh anggapan sebagai berikut:
1.    Manusia merupakan sumber daya yang paling strategik.
Hal ini tidak mengurangi pentingnya sumber daya yang lain seperti modal, mesin, metode kerja, materi, waktu, energi dan informasi. Akan tetapi karena sumber daya selain manusia adalah benda mati yang tidak akan mempunyai arti apa-apa bila tidak digerakkan oleh manusia, tersedianya daya dan dana yang melimpah tidak akan dengan sendirinya menjadikan wahana yang andal untuk mencapai tujuan organisasi. Kalau sumber daya manusia yang ada dalam organisasi menampilkan perilaku yang positif maka organisasi tersebut akan produktif, tetapi sebaliknya bilamana sumber daya manusia yang ada dalam organisasi menampilkan perilaku yang disfungsional maka manusia pulalah yang merupakan unsur perusak paling efektif dalam organisasi.
2.    Manusia adalah mahluk yang paling mulia di muka bumi ini.
Hal tersebut karena manusia mempunyai banyak kelebihan dibandingkan mahluk yang lainnya, antara lain adalah kemampuan kognitif dan daya nalarnya serta berbagai mental intelektual, harkat dan martabatnya untuk diakui dan dihargai oleh orang lain.
3.    Manusia adalah mahluk yang sangat kompleks.
Demikian kompleksnya manusia sehingga diperlukan upaya yang terus menerus untuk mengenalinya dengan lebih baik, dan salah satu implikasi dari kenyataan tersebut adalah bahwa dalam mempekerjakan seseorang maka manajemen harus menggunakan keseluruhan diri orang yang bersangkutan.
4.    Kompleksitas manusia sebagai mahluk yang sulit dipuaskan.
Artinya tidak hanya terbatas pada kebutuhan yang bersifat materi, akan tetapi juga bersifat sosial, peningkatan harga diri, psikologis, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
5.    Makin banyak ditinggalkannya penggunaan istilah “manajemen kepegawaian” yang diganti dengan istilah “manajemen sumber daya manusia”. Esensinya bukanlah sekedar pergantian istilah dan bukan pula karena alasan populer, namun dengan menggunakan istilah dan konsep-konsep manajemen sumber daya manusia, maka para pekerja dalam organisasi tidak diperlakukan sebagai objek tetapi sebagai subyek, dalam arti: pengakuan atas harkat dan martabatnya, perlakuan yang manusiawi di tempat pekerjaan, pemberdayaan yakni dapat menikmati alam kemerdekaan berdemokrasi diperusahaan atau organisasi dan memperoleh imbalan yang didasarkan pada prinsip keadilan, kewajaran, kesetaraan dan kemampuan organisasi
6.    Apabila satuan kerja yang mengelola sumber daya manusia dalam organisasi mampu memainkan peranannya dengan baik, maka akan meningkatkan produktivitas kerja organisasi.
7.    Setiap manajer adalah manajer sumber daya manusia.
Meskipun dalam organisasi terdapat satuan kerja yang secara fungsional mengelola sumber daya manusia yang pemimpin tertingginya adalah salah satu anggota direksi atau sejenisnya, hal itu tidak mengurangi atau menghilangkan pentingnya peranan manajer lain selaku manajer sumber daya manusia. Alasannya adalah bahwa manajer itulah yang akan:
a.    Menentukan persyaratan profesional dan teknis dari para karyawan yang menjadi bawahannya.
b.    Memberikan penugasan kepada mereka (karyawan).
c.    Membina para karyawan tersebut agar lebih mampu melaksanakan tugas dengan lebih baik.
d.    Memutuskan apakah karyawan bersangkutan sudah pantas untuk dipromosikan memperoleh kenaikan pangkat atau kenaikan gaji.
e.    Memberikan teguran atau tindakan kepada karyawan apabila bawahannya itu melanggar disiplin organisasi.
            Dengan demikian jelas kiranya bahwa posisi SDM dan MSDM sangat vital bagi organisasi, tidak terkecuali organisasi pendidikan yang antara lain mempunyai  tugas memberikan pelayanan akademik dan administratif demi tercapainya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM merupakan keniscayaan. Kualitas dalam artian ini, meminjam konstatasi Stewart (dalam Stoner, Freeman & Gilbert, 1995: 210), merupakan “a sense of appreciation that something is better than something else.” Intinya adalah “lebih baik dari yang lain”. Jadi, SDM yang berkualitas adalah SDM yang memiliki kelebihan jauh melampaui SDM yang lain. Dengan demikian, ia memiliki keungggulan tertentu yang memungkinkan untuk dapat bersaing. Sedangkan MSDM yang berkualitas adalah MSDM yang mampu mengelola SDM sehingga memiliki keunggulan untuk bersaing.
Salah satu piranti untuk meningkatkan kualitas SDM  adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ilmu adalah pengetahuan yang sudah diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga menghasilkan kebenaran yang obyektif serta sudah diuji kebenaranya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui oleh manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik melalui panca indra, intuisi, pengalaman, maupun filsafat (Wahyuddin, dkk., 2009: 82).
Menurut Suriasumantri (2003: 104), pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk kedalamnya adalah ilmu. Jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Sementara menurut The Liang Gie (2004: 120), pengetahuan adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial maupun kemanusiaan. Terbentuknya pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Pemenuhan rasa ingin tahu itu diawali dengan penalaran atau proses berpikir untuk menarik sesuatu kesimpulan berupa pengetahuan yang benar dengan ciri-ciri logis dan dapat dianalisis (ilmiah) (The Liang Gie, 2004: 120).
         Crowl et al (1997: 139) membagi pengetahuan dalam tiga tipe, yaitu: pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan konseptual. Pengetahuan deklaratitif meliputi ingatan tentang fakta informasi, pengetahuan dklaratif kadang-kadang juga disebut informasi verbal. Pengetahuan prosedural meliputi bagaimana mempelajari fakta khusus, belajar tentang hukum-hukum dan diaplikasikan dalam situasi yang lebih luas. Pengetahuan konseptual meliputi pengkategorian konsep yang saling berhubungan. Konsep merupakan klasifikasi dari suatu yang berkaitan dengan gambaran-gambaran atau kejadian-kejadian.
            Sedangkan Bloom (1981: 62-77) mengklasifikasikan pengetahuan menjadi: (1) pengetahuan hal-hal khusus: (a) pengetahuan mengenai istilah, (b) pengetahuan mengenai fakta khusus; (2) pengetahuan mengenai cara dan penggunaan alat untuk melakukan hal-hal tertentu seperti: (a) pengeta­huan tentang kebiasaan, (b) pengetahuan tentang kecenderungan, (c) penge­tahuan tentang klasifikasi, (d) pengetahuan kategori, (e) pengetahuan metodologi; (3) pengetahuan hal-hal yang umum yang meliputi: (a) pengetahuan tentang  prinsip dan generalisasi, (b) pengetahuan teori dan struktur.
Jadi ilmu pengetahuan adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan penalaran atau dapat diterima oleh akal.
Ikhwal teknologi, D. Bell (dalam Besari, 2008: 147-148) menyatakan bahwa teknologi pada dasarnya adalah instrumen untuk memperbesar (ekspand) kekuasaan manusia (human powers) dalam menciptakan kekayaan (wealth). Teknologi adalah ilmu pengetahuan dan seni yang ditransformasikan kedalam produk, proses, jasa, dan struktur organisasi yang pada dasarnya merupakan seperangkat instrumen ekspansi kekuasaan manusia sehingga dapat menjadi sumber daya cara baru untuk menciptakan kekayaan melalui peningkatan produktivitas.
Dengan demikian, teknologi merupakan bagian dan turunan dari ilmu pengetahuan.  Dengan kondisi seperti ini, maka ilmu pengetahuan dan teknologi lantas dipersenyawakan dalam satu akronim: IPTEK. Kehadiran IPTEK, selain merupakan produk nyata manusia, khususnya para penyemai IPTEK, juga diperuntukkan bagi manusia untuk memperlancar usaha-usahanya dalam kehidupan riil. Bagi perguruan tinggi, IPTEK adalah produknya, tetapi juga sekaligus merupakan instrumen untuk menjadikan dirinya tumbuh dan berkembang, agar mampu memproduksi IPTEK yang lebih canggih lagi, yang lebih bermanfaat.

Revitalisasi IPTEK
            IPTEK jelas-jelas merupakan produk perguruan tinggi namun justru terasa asing di lingkungan kampus. Seolah-olah IPTEK hanya didedikasikan untuk pihak luar kampus. Padahal, sebelum ”dijual” atau dikontribusikan ke pihak luar kampus, seharusnya  IPTEK di-trial and error-kan dulu di lingkungan kampus. Baru setelah betul-betul benar, layak, dan memberikan manfaat, ”dijual” ke pihak luar. Ini penting. Jangan sampai perguruan tinggi menjual ”kucing dalam karung”; menjual poduk/jasa yang tidak layak pakai. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus memosisikan dirinya sebagai ”laboratorium” dari semua produk atau jasa yang akan ”dijual.” Sebagai laboratorium, perguruan tinggi hanya akan mengeluarkan produk/jasa yang betul-betul layak dan laik dikonsumsi, bukan laksana ”obat tak berbelas kasihan yang ditemukan dan diberikan atas nama belas kasihan.” Ketika perguruan tinggi meluluskan alumni yang tidak bermutu, sehingga alumninya tidak dapat bersaing dalam dunia kerja, maka perguruan tinggi telah meramu ”obat tak berbelas kasihan yang ditemukan dan diberikan atas nama belas kasihan.”  
Kondisi seperti ini harus dihindari, sehingga kalangan perguruan tinggi harus  berani mengubah orientasi aktivitasnya: menjadi pro peningkatan kualitas SDM internal. Tidak mungkin perguruan tinggi dapat memproduksi produk/jasa yang bermutu tanpa kualitas SDM yang bermutu. Daya dukung fasilitas kampus yang hebat tanpa disokong kualitas SDM yang andal tidak akan mungkin menghasilkan produk/jasa unggulan. Mustahil kampus dapat memberikan pelayanan yang baik tanpa didukung oleh SDM yang kompeten dalam memberikan pelayanan.
Usaha ke arah itu sebenarnya tidak sulit dan juga tidak mahal. Caranya sangat mudah. Manfaatkan para pakar yang ada dalam lingkungan kampus untuk menjadi instruktur pelatihan atau workshop bagi kalangan internal kampus. Libatkan mereka dalam berbagai pelatihan sesuai kebutuhan kampus. Ajak pakar pelayanan berbagi pengetahuan dan kompetensi dalam sesi pelatihan pelayanan bagi staf akademik dan administratif. Gandeng pakar keuangan untuk berkontribusi pada pelatihan untuk staf keuangan. Ringkasnya, manfaatkan SDM potensial yang dimiliki kampus untuk mengembangkan SDM yangn lain. Dengan cara ini, SDM yang potensial akan merasa dihargai, sedangkan SDM yang lain akan berterimakasih. Demikianlah cara indah dalam berbagi: saling asah, asih dan asuh. Muaranya adalah peningkatan kualitas SDM. Manajemen SDM harus mampu meng-cover ini. Pihak-pihak yang berperan sebagai manajer SDM harus concern pada urgensi tersebut. Para pakar MSDM yang ada di kampus dapat dilibatkan untuk ambil bagian, agar berbagai potensi SDM yang ada kampus dapat bersinergi secara solid dan harmonis. Inilah kuncinya.
Untuk menunjang hal itu, jangan lupa pula pada unsur teknologi sebagai penunjang aktivitas kampus. Jika pakar internal kampus misalnya berhasil memproduksi  program aplikasi komputer untuk kegiatan administrasi keuangan, gunakan aplikasi tersebut secara maksimal untuk menunjang kelancaran aktivitas administrasi keuangan. Bahkan, karya mahasiswa unggulan dari program studi sistem informasi dalam bentuk program aplikasi admnistrasi akademik dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan aktivitas administrasi akademik. Oleh karena itu, jangan pernah apriori kepada mahasiswa yang hendak melakukan riset di lingkungan kampus dengan alasan yang tidak rasional. Berikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian dalam rangka penyusunan skripsi, tesis atau disertasi di lingkungan kampus agar hasilnya dapat dimanfaatkan oleh kampus.
Inilah hakikat revitalisasi IPTEK bagi peningkatan kualitas SDM perguruan tinggi. IPTEK yang merupakan produk perguruan tinggi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan keperluan perguruan tinggi. Dengan pola ini, perguruan tinggi akan semakin berkualiatas SDM-nya, sehingga dapat memberikan kontribusi terbaik untuk stakeholders-nya, baik yang berada di dalam maupun di luar kampus.

Referensi

Besari, M. Sahara, Teknologi Di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi Jakarta: Salemba Teknika, 2008.
Bloom, Benjamin S., Taxonomy of Educational Objectives, New York: Longman, Inc., 1981.
Crowl, Thomas K., Sally Kaminsky, & David M. Podell, Educational Psychology, Chicago: A Time Mirror Company, 1997.
Dessler, Gary,  Manajemen Sumber Daya Manusia,  Jakarta: Indeks, 2003.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2004.
Gomes, Faustino Cardoso, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offiset, 2001.
Mangkuprawira, Sjafri, Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: YKPN, 1997.
Stoner, James A. F., R. Edward Freeman & Daniel R. Gilbert, JR., Management,  New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, 1995.
Sumarsono, Sonny, Teori Kebijakan Publik Ekonomi Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Wahyuddin, Achmad, dkk., Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Grasindo, 2009.

1 komentar:

  1. How To Make Money From Betting On Sports? - Work
    The simplest form of betting on sports is by playing a septcasino game of chance. Betting on 바카라 사이트 sports is a form of งานออนไลน์ luck. When you combine that luck and luck

    BalasHapus